Satu Suro dalam Tradisi Jawa dan ditempat Lainnya

Malam satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa pada bulan Sura atau Suro, yang bertepatan dengan 1 Muharram. Dalam budaya masyarakat Jawa, terdapat banyak tradisi yang masih dijaga dan dilakukan hingga saat ini, meskipun zaman telah semakin modern. Berikut perayaan malam satu Suro di tempat lain selain Surakarta dan Yogyakarta.

kompas.com

Di Pulau Jawa

Suroan

Selama bulan Suro, masyarakat Jawa meyakini pentingnya tetap “eling” (ingat) dan waspada. Eling di sini mengacu pada kesadaran akan identitas diri dan kedudukan sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti tetap berjaga-jaga dan waspada terhadap godaan yang menyesatkan.

Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk menyambut Satu Suro. Salah satunya adalah melaksanakan “laku prihatin” dengan tidak tidur semalaman. Kegiatan yang biasa dilakukan termasuk tirakatan, menyaksikan pertunjukan wayang, dan acara seni lainnya.

Ledug Suro

Ini adalah tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Magetan, Jawa Timur. Mereka menjaga tradisi Ledug Suro dengan mengadakan “Ngalub berkah Bolu Rahayu”. Upacara dimulai dengan karnaval Nayoko Projo dan Bolu Rahayu yang kemudian menjadi objek tawuran antar warga. Masyarakat mempercayai bahwa kue Tahu dapat membawa keberuntungan dan berkah.

Barikan

Tradisi ini dilakukan oleh warga Pati, Jawa Tengah. Pada dasarnya, Barikan merupakan hajatan masyarakat. Rombongan membawa makanan dari rumah dan kemudian dilakukan doa bersama. Makanan yang telah didoakan akan dimakan bersama. Berbagi hidangan adalah suatu keharusan selama festival ini.

Tradisi Suro di Tempat Lain

Ngadulag

Ini adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sukabumi, Jawa Barat. Tradisi ini dimeriahkan dengan lomba seni gendang yang diikuti oleh sebagian besar warga. Dalam lomba Ngadulag, setiap tim minimal terdiri dari tiga pemain, termasuk pemukul kendang, pemukul kohkol (terompet), dan pemukul aksesoris lainnya. Para peserta berlomba-lomba dalam berkreasi.

Upacara Tabot

Acara ini dirayakan oleh masyarakat Bengkulu untuk memperingati kepahlawanan dan wafatnya Husein bin Ali Abu Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW. Hal ini terinspirasi oleh upacara Karbala di Iran. Sejak tahun 1685, Syekh Burhanuddin, yang juga dikenal sebagai Imam Senggolo, telah mengadakan perayaan Tahun Baru Islam ini. Masyarakat percaya bahwa jika mereka tidak merayakan Tahun Baru Islam ini, bencana dan kesialan akan menimpa mereka.

Nganggung

Umat Islam merayakan tradisi ini di Bangka Belitung. Nganggung berarti makan bersama dalam bahasa setempat. Masyarakat mengadakan acara makan bersama. Seperti perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, pertemuan ini menjadi tradisi Tahun Baru Islam. Warga dari seluruh Bangka datang untuk bersilaturahmi dan berkunjung ke rumah warga. Bagi tuan rumah, semakin banyak tamu yang datang, semakin banyak keberkahan yang mereka peroleh. Makanan yang mirip dengan Idul Fitri disajikan untuk melayani para tamu.

Penutup

Malam Satu Suro adalah perayaan yang penting dalam budaya Jawa, yang mengawali bulan Suro dalam kalender Jawa. Tradisi ini terus dijaga dan dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan penuh kehormatan. Di Surakarta, terdapat tradisi malam Satu Suro yang melibatkan kirab di sekitar keraton.

Selain itu, terdapat juga tradisi lain yang terkait dengan malam Satu Suro di berbagai daerah di Jawa. Misalnya, tradisi Mubeng Beteng Tapa Bisu Lampah di Keraton Yogyakarta yang melibatkan prosesi kirab di sekitar benteng keraton dengan hening dan tidak berbicara. Sedangkan di Gunungkidul, terdapat tradisi Sedekah Laut yang merupakan ungkapan syukur dan berkah para nelayan.

Secara keseluruhan, tradisi-tradisi ini menunjukkan pentingnya kesadaran akan identitas diri, ketentraman batin, dan menjaga tradisi dalam masyarakat Nusantara. Satu Suro dan tradisi tahunan lainnya merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Nusantara yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Artikel menarik lainnya > Taman Bungkul: Salah Satu Taman Terbaik di Dunia