Site icon JejakPejalanKaki

Cerita Mbah Jugo di Pesarean Gunung Kawi

Pesarean Gunung Kawi

Cerita Pesarean Gunung Kawi ini bermula pada suatu pagi ketika bersih-bersih rumah dan mengumpulkan buku-buku bekas untuk dikilokan, aku tidak sengaja menemukan Majalah Jatim Tourism News edisi 25 Juli – 15 Agustus 2005 No. 50 Tahun III. Setelah kubalik-balik, kucermati dan ku baca berulang-ulang ternyata isinya sangat bagus dan sangat berbobot dalam Sejarah di Malang dan Jawa Timur. Akhirnya aku mengumpulkan dan menyimpan majalah tersebut, daripada harus dikilokan dan ujung-ujungnya didaur ulang untuk sesuatu yang kurang bermanfaat seperti bungkus kacang atau bungkus gorengan. Alhasil setelah mengorek-orek info dan artikel didalamnya akhirnya aku mendaur ulang (sesuai SEO) isi artikel tersebut dengan tujuan untuk pembelajaran bagi teman-teman, saudara sebangsa dan setanah air mengenai sejarah, asseeek… Berikut artikelnya:

Artikel Asli :
Cerita Gunung Kawi (Bagian Pertama)
Cerita Gunung Kawi, Pemuka Agama Keturunan Darah Biru (Bagian Kedua)
Cerita Gunung Kawi, Mbah Jugo di Cintai Masyarakat (Bagian Ketiga)

Lokasi Pesarean Gunung Kawi dan Jarak dari Kota Malang

Menurut cerita-cerita Gunung Kawi yang beredar dimasyarakat, Gunung Kawi dikenal Sebagai tempat ziarah, ada Di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, bukan persis berada di Gunung Kawi. Gunung Kawi di Wonosari yang menjadi topik bahasan kita di sini sudah sejak lama dikenal sebagai objek wisata ritual, tidak saja oleh wisatawan dalam negeri, tapi bahkan wisatawan mancanegara. Simak catatan lama Im Yang Tjie, bahwa sejak Rabu Wage, 11 Maret hingga Rabu Wage, 15 April 1953, tercatat 4.870 tamu yang datang berkunjung ke tempat itu.

Sekilas Cerita Pesarean Gunung Kawi

Kalaupun kemudian cerita-cerita Gunung Kawi menjadi sangat populer dan bahkan Gunung Kawi menjadi salah satu ikon wisata ritual di Jawa Timur, karena di sana bersemayam untuk selamanya dua sosok manusia “pilihan” Mbah Jugo alias Kanjeng Kiai Zakaria ll, dan Raden Mas Imam Soedjono, yang konon di masa hayatnya merupakan tokoh karismatis dan pejuang yang gagah berani.

Kedua sosok pilihan yang dimakamkan di situ tidak saja melegenda di kalangan masyarakat Jawa, tapi juga bagi masyarakat Indonesia keturunan Cina. Mereka bahkan lebih mengenal Mbah Jugo sebagai Taw Low She, yang maknanya berarti Guru Besar Pertama, dan Raden Mas imam Soedjono sebagai Djie Low She, yang arti harfiahnya setara dengan Guru Besar Kedua.

Menurut sebuah sumber, Mbah Jugo atau Kanjeng Kiai Zakaria II yang sehari-harinya dikenal sebagai Mbah Kromodi redjo sebenarnya adalah bhayangkara Pangeran Diponegoro, keturunan Penguasa Mataram Kartasura yang memerintah pada Abad 18. Sedangkan Raden Mas Imam Soedjono adalah keturunan Penguasa Keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, juga pada Abad 18.

Kondisi alam Desa Wonosari Iebih tepat disebut sebagai kawasan permukiman di kaki Gunung Kawi bagian selatan (lebihkurang 800 meter dari atas permukaan laut) sebenarnya tidak banyak berbeda dengan daerah-daerah tinggi lainnya di Jawa Timur. Udaranya sejuk, areal pertaniannya subur, perkampungannya damai, plus komunitas masyarakat yang ramah-tamah, dan senantiasa terikat dengan adat-istiadat yang kuat.

Kawasan wisata ritual ini menempati areal seluruhnya seluas kira-kira 15 hektar, dan 7 hektar di antaranya merupakan kawasan khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata ritual serta fasilitas umum. Penanggung jawab pengelolaan adalah Yayasan Ngesti Gondo, yang seluruh anggotanya merupakan ahli waris dan kaum kerabat Mbah Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono.

Kompleks makam Mbah Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono atau yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Pesarean Gunung Kawi, terletak di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Sekitar 40 kilometer arah barat Kota Malang. Jalan menuju kesana relatif baik, dan dapat ditempuh dengan hampir semua angkutan umum sekitar satu jam perjalanan.

Di Pesarean Gunung Kawi banyak kisah menarik untuk dicermati

@chiw

Mbah Jugo alias Kanjeng Kiai Zakaria ll, alias Raden Mas Soerjokoesoemo, alias Raden Mas Kromodiredjo, sudah cukup lama menghadap Yang Maha Kuasa. Beliau meninggal di padepokannya di Desa Jugo, Kecamatan Sanan, Kabupaten Blitar, pada hari Minggu Legi (malam Senin Pahing) pukul 01.30, tanggal 1 bulan Selo (Zulhijah, red) tahun 1799 Dal. Atau lebih tepat lagi, tanggal 22 Januari 1871.

Jenazah almarhum kemudian diberangkatkan ke Desa Wonosari di kaki Gunung Kawi, dan baru tiba pada hari Rabu Wage, 24 Januari. Setelah disemayamkan semalam di padepokan Raden Mas Imam Soedjono, esoknya Kamis Kliwon, 25 Januari 1871, jasad almarhum dikebumikan dengan cara muslim, yang dipimpin langsung oleh kerabatnya Raden Mas Imam Soedjono. Sayang, tidak ditemukan keterangan pada usia berapa almarhum menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan terkuburnya Jasad almarhum, maka seiring dengan itu pula terkubur pula sebagian besar kisah perjalanan hidup Mbah Jugo dan sosok beliau yang sesungguhnya. Kalaupun belakangan ini banyak muncul berbagai cerita Gunung Kawi yang mengatasnamakan nama Beliau, baik yang lisan maupun tertulis, itu tak lebih dari potongan-potongan kisah yang tercecer, atau barang kali legenda yang kurang didukung oleh data yang valid.

Seorang Pemuka Agama Keturunan Darah Biru

Dalam sebuah buku kecil Cerita Gunung Kawi yang diterbitkan oleh Yayasan Ngesti Gondo (1989), disebutkan bahwa Mbah Jugo adalah seorang ulama terkenal dari Keraton Mataram Kartasura. Riwayat hidupnya dapat ditelusuri berdasarkan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Peng ageng Kantor Tepas Daerah Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat No; 55/TD/I964, yang ditandatangani oleh KRT Danoehadiningrat pada 23 Juni l964.

Di dalam surat itu diterangkan pula silsilah Kanjeng Kiai Zakaria II atau Mbah Jugo (Eyang Djoego) sebagai berikut:

Penangkapan Pangeran Diponegoro by: artstation.com

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sasuhunan Paku Buwana I (Pangeran Puger), memerintah Keraton Mataram tahun 1705 – 1719, berputra Bandoro Pangeran Harjo (BPH) Diponegoro, yang kemudian berputra Kanjeng Kiai Zakaria I, seorang ulama besar di lingkungan keraton Kartasura saat itu. Selanjutnya, bangsawan sekaIigus ulama tenar itu berputra RM Soerjokoesoemo atau RM Soerjodiatmodjo.

Nama yang disebut terakhir ini semenjak masa mudanya sudah menunjukkan minat yang besar untuk mempelajari dan memperdalam agama lslam. Dan setelah dewasa, karena kemampuannya yang mumpuni dan ketekunannya memperdalam agama Islam, maka atas perkenan Kanjeng Susuhunan Paku Buwana V, RM Soerjo koesoemo mengubah namanya sesuai “Peparing Dalem Asmo” (pemberian nama oleh Sunan, red), “nunggak semi” dengan ayahandanya menjadi Kanjeng Kiai Zakaria II, yang tiada lain Mbah Jugo.

Kanjeng Kiai Zakaria ll. masih menurut sumber itu, merupakan pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Pasukan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda di Magelang, Kiai Zakaria II kemudian mengembara ke Jawa Timur, dan untuk mengelabui Pemerintah Kolonial, ia lantas me lepas atribut kebangsawanannya sekaligus mengganti nama dengan Mbah Sa jugo alias Mbah Jugo.

Cerita Eyang Jugo di Pesarean Gunung Kawi Bermula dari Kandang Sapi

Tidak ada keterangan yang menguraikan bagaimana Mbah Jugo mengawali pengembaraannya ke Jawa Timur. Tetapi, Im Yang Tjiu, dalam sebuah literatur yang sudah agak tua (tidak disebutkan tahun penerbitannya, red), menulis (dalam ejaan lama, red);

Waktu itu Desa Jugo masih sepi. Sebagian besar kawasan itu masih merupakan hutan lebat yang dihuni berbagai hewan buas, mulai dari macan, ular besar, monyet, dan lain sebagainya. Di antara hutan dan desa terhampar padang iIaIang yang luas dan biasa digunakan penduduk sekitar untuk menggembalakan hewan piaraan mereka, seperti sapi dan kambing.

Suatu hari, anak-anak angon (penggembala, red) yang sedang mengawasi hewan-hewan peliharaannya di padang ilalang itu tiba-tiba dikejutkan oleh seorang lelaki tua yang keluar dari hutan dan datang menghampiri mereka. Tapi, lelaki tua itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, lalu balik lagi masuk hutan. Selang beberapa hari kemudian, lelaki tua itu muncul lagi, lalu berjalan menuju sebuah kandang sapi yang sudah tidak terpakai.

Kandang itu terletak hanya beberapa ratus meter dari perkampungan penduduk, milik Madsurya, penduduk Desa Jugo, yang ditinggalkan begitu saja sehingga hewan ternaknya banyak dimangsa binatang buas. Orang tua itu tidak Iagi kembali ke hutan dan untuk beberapa waktu ia tidur dan menetap dikandang sapi yang sudah tidak terawat itu. Namun, penduduk desa tidak menghiraukan kedatangan tamu asing itu, tapi mereka juga tidak mengganggunya.

Dari sorot matanya yang teduh, masyarakat desa menduga bahwa lelaki tua itu bukanlah sembarang orang. Apalagi kalau melihat caranya berbicara, caranya berjalan, dapat dipastikan bahw ia adalah orang yang terhormat. Karenanya, masyarakat juga agak segan mendekati orang itu, dan sekaligus menaruh hormat sepenuhnya kepada nya.

Tamu Kerajaan Mbah Jugo

Pada suatu ketika desa jugo kedatangan dua orang tamu dari Pati, Jawa Tengah. Kedua orang tamu itu berpakaian ala bangsawan, dan menanyakan kepada penduduk tentang tempat tinggal Panembahan Jugo. Mendengar pertanyaan ini, tentu saja penduduk hanya terperangah. karena selama ini tidak pernah ada yang namanya Panembahan Jugo di desa itu. Kedua tamu itu sempat menginap beberapa malam di desa itu, sembari terus mencari keterangan di mana sang panembahan itu berada.

Setelah berselang beberapa hari belum ada juga kabar yang mereka dapatkan, pada akhirnya kedua tamu itu memutuskan untuk kembali ke Pati. Anehnya, ketika kedua tamu itu hendak rneninggalkan Desa Jugo serta-merta beberapa ekor sapi penduduk menguak secara serentak dan dengan suara yang amat kuat, hingga membuat penduduk desa itu bertanya-tanya apa gerang an yang terjadi ? Penduduk pun beriarian menuju tempat di mana suara sapi itu berasal, termasuk kedua orang tamu tadi.

Akan tetapi, setelah diamati, ternyata sapi-sapi Itu tetap saja pada kegiatan kesehariannya, makan rumput. Tapi, di saat yang sama pula penduduk merasa kaget, karena kedua tamu yang hendak pulang itu tengah berlarilari kecil menuju lelaki tua yang berdiri hanya beberapa puluh meter di hadapan mereka. Melihat gelagat ini, pen duduk baru mengetahui bahwa lelaki tua inilah yang dipertanyakan oleh kedua tamu itu. Hanya dalam hitungan detik, kedua tamu itu sudah bersimpuh di hadapan lelaki tua itu sambil menangis haru karena orang yang selama ini mereka cari sudah ditemukan. Dialah Mbah Jugo itu.

Karomah Mbah Jugo Membuat Beliau di Cintai Masyarakat

Di suatu waktu, hampir seluruh daratan Pulau Jawa terserang penyakit kolera. Sudah tidak terbilang jumlah korban yang jatuh akibat penyakit yang mematikan itu. Tak terkecuali di Desa Jugo. Penduduk menjadi panik, resah dan bingung, karena korban terus saja berjatuhan. Di tengah kepanikan itu, penduduk desa mendatangi kandang sapi dengan harapan barangkali Mbah Jugo bisa membantu. Tetapi, ternyata lelaki tua itu menghilang lagi, ia kembali masuk ke dalam hutan.

Di tengah kegalauan ini tiba-tiba Eyang Djoego muncul lagi di kandang sapi. Tanpa banyak bicara ia langsung meminta penduduk yang terserang wabah kolera agar dibawa ke kandang sapi. Dan bagi penderita yang tidak dapat berjalan cukup di rumah saja, asalkan diberi minum air putih yang sudah diberi doa-doa oleh Beliau. Benar saja, hanya dalam hitungan beberapa hari saja penduduk Desa Jugo terbebas dari wabah kolera, semua penderita kembali menjadi sehat sebagaimana sediakala.

Berita menggembirakan ini tentu saja cepat menyebar ke mana-mana, tidak saja di Jawa Timur, tapi hingga ke seluruh daratan Pulau Jawa. Malah, kabar ini terdengar pula oleh Bupati Blitar, yang kala itu dijabat Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo. Senamerta sang Bupati langsung datang menemui Mbah Jugo karena rakyatnya banyak yang terserang kolera. la minta bantuan agar Eyang Djoego bersedia ikut ke kabupaten untuk mengobati warganya yang sakit, dan Beliau meluluskan permintaan itu.

Setelah berulang kali pertemuan antara Kanjeng Bupati dan Mbah Jugo, pada akhirnya keduanya menjadi bersahabat. Dan, karena sudah menjalin keakraban yang dalam, pada akhirnya Mbah Jugo tidak mampu menampik tawaran Kanjeng Bupati agar mau menerima sebidang tanah seluas sekitar 7 hektar yang bebas pajak. Letaknya di Desa Jugo, Kecamatan Sanan, Kabupaten Blitar. Di atas tanah itu kemudian dibangun padepokan yang sekaligus menjadi tempat tinggal Eyang Djoego hingga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir

Kisah dari Masyarakat keturunan Cina

Bagi Masyarakat keturunan Cina ada cerita tersendiri mengenai Pesarean Gunung Kawi malang, berikut kisah-kisahnya:

Guru Besar Bagi Masyarakat Indonesia Keturunan Cina

ancient.eu

Sejatinya, Kiai Ageng Zakaria atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Jugo adalah seorang ulama muslim yang taat dan ksatria berdarah biru yang gagah perkasa dari tanah Jawa. Tapi, bagi masyarakat Indonesia keturunan Cina, Eyang Djoego adalah Sang Resi, mahaguru yang dikagumi. Karenanya mereka menyebut Beliau sebagai Taw Low She, yang berarti Guru Besar Yang Pertama.

Sejarah mencatat bahwa kharisma dan ketokohan Mbah Jugo memang benar-benar mampu menembus berbagai sekat sosial, baik ras, suku bangsa, agama, adat-istiadat, goIongan maupun agama dan kepercayaan. Sehingga tidaklah mengherankan, kalaupun jasadnya sudah berkalang tanah berbilang abad lamanya, namun nama besarnya tetap saja harum seharum kemenyan dan dupa yang senantiasa menyelimuti makamnya siang maupun malam.

Kalaupun pada hari-hari belakangan ini ada pensakralan yang terkadang berlebihan di makam Mbah Jugo, hal itu tidak dapat begitu saja dihakimi sebagai pengkultusan. Sebab, antara Eyang Djoego dan masyarakat Indonesia keturunan Cina, memang sudah sejak lama dipertautkan oleh sebuah benang merah sejarah yang mungkin tidak akan pernah pupus untuk selama-Iamanya. Simak saja ulasan berikut ini.

Kisah Mbah Jugo Dan Warga Tionghoa (Tan Giok Tjwa)

Mbah Jugo sekarang sudah pindah ke padepokan. Suatu ketika ia kedatangan tamu perantauan dari daratan Cina. Namanya, Tan Giok Tjwa. Dari cara bicaranya, tamu ini terkesan belum lama datang ke pulau Jawa Semula ia tinggal bersama dengan pamannya di Semarang. Namun beberapa lama kemudian, pamannya itu meninggal dunia. Maka ia pun merantau ke Jawa Timur. Singkat cerita, Tan Giok Tjwa ini berkenalan dengan seseorang yang bermaksud untuk mendatangi Padepokan Eyang Djoego. Tan Giok Tjwa Pun tertarik lantas ikut serta bersama kenalannya itu.

Sesampainya di padepokan, dengan ramahnya Mbah Jugo mempersilahkan tamu-tamu itu masuk. Begitu duduk, Beliau memandang Tan Giok Tjwa sambil berkata “Akhirnya engkau datang juga anakku”. Maka Tan Giok Tjwa pun terheran-heran mendengar ucapan itu. Ia sempat terpana beberapa saat. Baru berselang beberapa waktu kemudian ia teringat cerita yang pernah dituturkan ibunya sekian tahun lalu. la baru sadar, bahwa ucapan lelaki tua di hadapannya memang mempunyai ikatan sejarah ke belakang yang sudah cukup lama berlalu. Alkisah, saat Tan Giok Tjwa masih kecil. Kala itu di kampung kelahirannya, Tjiang Tjiu, Hay Teng, sedang dilanda paceklik hebat. Ketika ibunya tengah menenun kain, tiba-tiba rumahnya kedatangan seorang tamu. Setelah dipersilakan masuk, ibunda Tan Giok Tjwa Ialu bertutur, bahwa ia tidak mampu menyajikan hidangan yang pantas untuk tamu karena mereka sendiri sangat kekurangan. “Tapi, kalau berkenan, saya bisa memetik beberapa helai daun semanggi dan memasaknya,” kata ibunda Tan Giok Tjwa.

Sang tamu pun menepis, “Ah saya pun tidak terlalu lapar”. Lalu, ia pun mendekati si kecil lalu berpesan: “Anak ini akan saya akui sebagai anakku, dan kelak kalau sudah besar, ia boleh mencari aku”, ujar sang tamu. Tapi, ketika tuan rumah menanyakan di mana alamat lelaki itu, ia hanya menjawab sing kat. “Nanti kalau sampai waktunya, anak ini akan mengetahui sendiri”, jawab tamu, kemudian ia bergegas meninggalkan si kecil bersama ibunya.

Nah, dengan pertemuan yang tidak terduga di padepokan Mbah Jugo itu. akhirnya Tan Giok Tjwa terus menetap di situ, dan kemudian berganti nama menjadi Ki Djan. Sayang, kisah selanjutnya tentang Ki Djan dan Eyang Djoego ini tidak ditemukan dalam kepustakaan-kepustakaan.

Cerita dari Masyarakat Keturunan Cina Lain

ilustrasi

Mbah Jugo adalah Taw Low She

Pada tahun 1931, beberapa orang Tionghoa dari Surabaya, naik ke makam Mbah Jugo di Gunung Kawi. Dengan kepentingan yang berbeda meski ujung-ujungnya juga sama. Sebut saja, Tjia Tian Tjin. Ia mendapat musibah karena anak lelakinya bernama Tjia Hong Bwee mengalami kecelakaan. Ketika jatuh, anak itu terluka. Dan bagian yang terluka itu tak pernah kunjung sembuh meski sudah dibawa berobat ke dokter, sinshe, maupun dukun. Anak itu menderita selama 7 tahun dan tidak ada tanda-tanda kesembuhan.

Karena merasa sudah berupaya maksimal untuk kesembuhan anaknya dan ternyata tidak membawa hasil apa-apa. Pada akhirnya Tjia Tian Tjin mengambil sikap untuk naik ke kaki Gunung Kawi. Untuk mencari penyembuhan alternatif terhadap penderitaan anak lelaki kesayangannya. Dan hasilnya sungguh di luar dugaan. Hanya dengan sebotol air putih yang ia bawa dari kaki Gunung Kawi. Tjia Hong Bwee lang sung sembuh dan sehat sebagaimana sedia kala. Karena keberhasilan itu, Tjia Tian Tjin kemudian berjanji bahwa pada suatu saat kelak. Ia akan naik lagi ke kaki Gunung Kawi untuk mengabdi kepada Mahaguru.

Kwee Yan Ho

Seorang lagi bernama Kwee Yan Ho. Ia menderita sesak nafas yang akut dan sudah menahun. Kondisinya sudah amat lemah. Ia juga sudah berobat sana-sini, tapi tak kunjung sembuh juga. Sehingga pada gilirannya ia mengambil keputusan, akan naik ke kaki Gunung Kawi. Uniknya, masih di tengah perjalanan, penyakitnya tiba-tiba menghiIang. Ia merasakan kondisinya benar-benar prima dan beIum pernah ia rasakan sebelumnya. Meski demikian, ia tetap melanjutkan perjalanan hingga ke makam Mbah Jugo. Di sana ia hanya mengambil sebotol air dan kemudian dibawa pulang. Siapa tahu kalau penyakitnya kumat Iagi. Namun. hingga bertahun-tahun kemudian, penyakit bengeknya benar-benar sudah tidak pernah muncul lagi. Maka, ia pun berjanji sama dengan rekannya, Tjia Tian Tjin, untuk sekali waktu akan kembali lagi ke kaki Gunung Kawi.

Lain halnya dengan kisah Tjan Tpe Siang. la seorang penganut ke batinan dan vegetarian yang ketat. Suatu ketika, disaat ia tengah bersemedi, tiba-tiba ia menerima semacam firasat, bahwa ia harus ke kaki Gunung Kawi. Maka dalam hitungan beberapa hari saja ia sudah berada di seputar makam Mbah Jugo. Sesampainya di sana, entah mengapa ia benar-benar merasakan suatu kenikmatan batin yang luar biasa. Sampai-sampai ia memutuskan untuk tidak mau lagi kembali ke Surabaya. Namun, karena terpanggil oleh rasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, ia akhirnya kembali juga ke Surabaya. Hanya saja, setelah beberapa tahun kemudian. Ia naik lagi ke kaki Gunung Kawi untuk mengabdikan diri kepada Guru Besar dalam bentuk partisipasi membangun sarana dan prasarana di sana ‘bersama-sama dengan Tjia Tuan Tjin, Kwee Yan Ho, dan Tan Kiam.

Cerita Lain dari Pengusaha Tionghoa

by: wallpaperbetter.com

Berawal Dari Mimpi Tan Kiam

Kalau Tjia Tian Tjin, Tjan Tjoe Siang dan Kwee Yan Ho mendatangi kaki Gunung Kawi dari Surabaya. Maka lain lagi dengan Tan Kiam. Kisah Tan Kiam ini nyaris sama dengan Tan Giok Tjwa, yang kebetulan dari tanah kelahiran yang sama. Bedanya, Tan Kiam justru bermula dari mimpi, sedang Tan Giok Tjwa ditemui secara langsung.

Syahdan, Tan Kiam waktu itu baru berusia 20 tahun. Suatu malam ia bermimpi kedatangan seorang pendeta yang memakai jubah hitam bersulam benang emas, tapi kakinya tidak menginjak tanah. Dalam mimpi itu, sang pendeta berkata bahwa kelak, kalau Tan Kiam sudah berusia 40 tahun, supaya datang menemui pendeta itu. Setelah menyampaikan pesan itu, si pendeta lantas menghilang ke arah selatan.

Bagi pemuda Tan Kiam, mimpi itu hanya dianggap “kembang tidur” semata. Toh, dalam alam pikirannya. Setiap orang boleh bermimpi apa saja sehingga dalam kurun waktu tertentu mimpi itu benar-benar sudah ia lupakan. Namun, entah pada usia yang ke berapa, pemuda Tan Kiam akhirnya terdampar juga ke tanah Jawa. Ia pernah tinggal dan berdagang di Surabaya, pernah buka toko di Lawang. Dan terakhir tinggal di Alkemar (sekarang daerah sekitar Purwosari, red).

Kegagalan Tan Kiam

Uniknya, pada usia yang ke-40, Tan Kiam merasa gagal dalam hidupnya. Semua usaha dan kerja kerasnya selama ini seakan-akan tidak menghasilkan apa-apa.  Hidupnya susah dan pikirannya tidak pernah tenang. Dalam keadaan yang tidak menentu seperti itu, baru ia ingat kembali mimpinya 20 tahun yang silam. Entah firasat apa yang muncul, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk mendatangi kaki Gunung Kawi. Dengan harapan barangkali di sana ia bisa menemukan sesuatu yang bisa mengubah nasibnya. Setelah beberapa lama berada dikaki Gunung Kawi, ia merasa tenang. Alam pikirannya yang sebelumnya kusut, mulai berubah menjadi keceriaan. Sehingga ia kemudian memutuskan untuk menetap di Desa Wonosari.

Usaha Tan Kiam

Di Desa Wonosari Tan Kiam sambil membuka usaha perkebunan teh di atas sebidang tanah yang luas nya sekitar 5 hektar. Letaknya kuranglebih 700 meter sebelah selatan makam Mbah Jugo.

Selain berkebun teh, ia juga menjual hasil perkebunannya itu ke Surabaya dan kota-kota lainnya di Jawa Timur. Jadi ia menjadi petani sekaligus pedagang teh. Sambil menjalankan usahanya itu, Tan Kiam pula yang memprakarsai beberapa pembangunan sarana dan prasarana di seputar makam Mbah Jugo. Termasuk membangun sebuah kupel (tempat peribadatan bagi agama Budha,red) berbentuk segi delapan Yang ia beri nama Pat Kwa Teng.

Sekarang ini, Pat Kwa Teng sudah dirobohkan karena sudah dimakan usia, dan diganti bangunan baru yang diberi nama The Kiong. Kendati demikian, dalam pembangunan itu, Tan Kiam tidak sendirian. Selain dibantu masyarakat sekitar, ia juga dibantu beberapa rekannya dari Surabaya seperti, Tjia Tran Tjin, Kwee Yan Bo, Kho Soen Khong. Sebelumnya sudah berjanji untuk sekali waktu akan datang lagi kaki Gunung Kawi guna mendharmabhaktikan diri pada Sang Resi, Maha Guru Yang Pertama.

Dharmabhakti Tan Kiam

by: wallpaperbetter.com

Kecuali Tan Kiam, seorang warga keturunan yang lain, Ong Hok Liong. Seorang pengusaha dari Malang, membangun sebuah kupel lainnya yang berdampingan dengan Pat Kwa Teng untuk permainan ciamsi dan papwe. Hingga sekarang permainan adu nasib ini masih ada. dan tergolong paling ramai didatangi pengunjung yang ingin meramalkan nasibnya. Berharap lewat ciamsi nasibnya akan mendapatkan hoki (keuntungan).

Sayang, Tan Kiam ini tidak pernah beristeri, sehingga ia tidak memiliki keturunan. Ia hanya mengambil anak angkat bernama Poimah, wanita asal Tumpang yang kemudian diperisteri oleh Maduri. Tan Kiam meninggal dunia pada usia 74 tahun, pada 15 Januari 1965, dimakamkan kurang-lebih 2 km dari makam Mbah Jugo.

Rumah peninggalan almarhum Tan Kiam hingga kini masih terawat baik. Sekarang dijadikan tempat tinggal Darmaji, salah seorang keturunan dan ahli waris Poimah. Sedangkan makam Tan Kiam, juga cukup terawat dan selalu terkunci. Hanya dibuka pada saat-saat tertentu bila ada pengunjung yang akan berziarah ke sana. Tan Kiam, hanya salah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia keturunan Cina yang begitu mengagumi Mbah Jugo. Dan, tampaknya, di masa mendatang juga akan tetap begitu. [Suhandi M.]

>> Sekian, Terimakasih Telah Mampir dan Membaca <<

Exit mobile version