Cerita Gunung Kawi Malang, Karomah Mbah Jugo (Bagian Ketiga)

Artikel Sebelumnya :
Cerita Gunung Kawi Malang (Bagian Pertama)
Cerita Gunung Kawi Malang, Keturunan Darah Biru (Bagian Kedua)

Wabah Penyakit

Cerita Gunung Kawi Malang: Di suatu waktu, hampir seluruh daratan Pulau Jawa terserang penyakit kolera. Sudah tidak terbilang jumlah korban yang jatuh akibat penyakit yang mematikan itu. Tak terkecuali di Desa Jugo. Penduduk menjadi panik, resah dan bingung, karena korban terus saja berjatuhan. Di tengah kepanikan itu, penduduk desa mendatangi kandang sapi dengan harapan barangkali Mbah Jugo bisa membantu. Tetapi, ternyata lelaki tua itu menghilang lagi, ia kembali masuk ke dalam hutan.

Cerita Gunung Kawi Malang
ancient.eu

Di tengah kegalauan ini tiba-tiba Eyang Djoego muncul lagi di kandang sapi. Tanpa banyak bicara ia langsung meminta penduduk yang terserang wabah kolera agar dibawa ke kandang sapi. Dan bagi penderita yang tidak dapat berjalan cukup di rumah saja, asalkan diberi minum air putih yang sudah diberi doa-doa oleh Beliau. Benar saja, hanya dalam hitungan beberapa hari saja penduduk Desa Jugo terbebas dari wabah kolera, semua penderita kembali menjadi sehat sebagaimana sediakala.

Berita menggembirakan ini tentu saja cepat menyebar ke mana-mana, tidak saja di Jawa Timur, tapi hingga ke seluruh daratan Pulau Jawa. Malah, kabar ini terdengar pula oleh Bupati Blitar, yang kala itu dijabat Kanjeng Pangeran Warsokoesoemo. Senamerta sang Bupati langsung datang menemui Mbah Jugo karena rakyatnya banyak yang terserang kolera. Ia minta bantuan agar Eyang Djoego bersedia ikut ke kabupaten untuk mengobati warganya yang sakit, dan Beliau meluluskan permintaan itu.

Setelah berulang kali pertemuan antara Kanjeng Bupati dan Mbah Jugo, pada akhirnya keduanya menjadi bersahabat. Dan, karena sudah menjalin keakraban yang dalam, pada akhirnya Mbah Jugo tidak mampu menampik tawaran Kanjeng Bupati agar mau menerima sebidang tanah seluas sekitar 7 hektar yang bebas pajak. Letaknya di Desa Jugo, Kecamatan Sanan, Kabupaten Blitar. Di atas tanah itu kemudian dibangun padepokan yang sekaligus menjadi tempat tinggal Eyang Djoego hingga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Guru Besar

Sejatinya, Kiai Ageng Zakaria atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Jugo adalah seorang ulama muslim yang taat dan ksatria berdarah biru yang gagah perkasa dari tanah Jawa. Tapi, bagi masyarakat Indonesia keturunan Cina, Eyang Djoego adalah Sang Resi, mahaguru yang dikagumi. Karenanya mereka menyebut Beliau sebagai Taw Low She, yang berarti Guru Besar Yang Pertama.

Sejarah mencatat bahwa kharisma dan ketokohan Mbah Jugo memang benar-benar mampu menembus berbagai sekat sosial, baik ras, suku bangsa, agama, adat-istiadat, goIongan maupun agama dan kepercayaan. Sehingga tidaklah mengherankan, kalaupun jasadnya sudah berkalang tanah berbilang abad lamanya, namun nama besarnya tetap saja harum, seharum kemenyan dan dupa yang senantiasa menyelimuti makamnya siang maupun malam.

Kalaupun pada hari-hari belakangan ini ada pensakralan yang terkadang berlebihan di makam Mbah Jugo, hal itu tidak dapat begitu saja dihakimi sebagai pengkultusan. Sebab, antara Eyang Djoego dan masyarakat Indonesia keturunan Cina, memang sudah sejak lama dipertautkan oleh sebuah benang merah sejarah yang mungkin tidak akan pernah pupus untuk selama-Iamanya. Simak saja ulasan berikut ini.

Kisah Mbah Jugo dan Tan Giok Tjwa

i.etsystatic.com

Mbah Jugo sekarang sudah pindah ke padepokan. Suatu ketika ia kedatangan tamu perantauan dari daratan Cina. Namanya, Tan Giok Tjwa. Dari cara bicaranya, tamu ini terkesan belum lama datang ke pulau Jawa, Semula ia tinggal bersama dengan pamannya di Semarang. Namun beberapa lama kemudian, pamannya itu meninggal dunia. Maka ia pun merantau ke Jawa Timur. Singkat cerita, Tan Giok Tjwa ini berkenalan dengan seseorang yang bermaksud untuk mendatangi Padepokan Eyang Djoego. Tan Giok Tjwa Pun tertarik lantas ikut serta bersama kenalannya itu.

Sesampainya di padepokan, dengan ramahnya Mbah Jugo mempersilahkan tamu-tamu itu masuk. Begitu duduk, Beliau memandang Tan Giok Tjwa sambil berkata “Akhirnya engkau datang juga anakku”. Maka Tan Giok Tjwa pun terheran-heran mendengar ucapan itu. Ia sempat terpana beberapa saat. Baru berselang beberapa waktu kemudian ia teringat cerita yang pernah dituturkan ibunya sekian tahun lalu. la baru sadar, bahwa ucapan lelaki tua di hadapannya memang mempunyai ikatan sejarah ke belakang yang sudah cukup lama berlalu.

Alkisah, saat Tan Giok Tjwa masih kecil. Kala itu di kampung kelahirannya, Tjiang Tjiu, Hay Teng, sedang dilanda paceklik hebat. Ketika ibunya tengah menenun kain, tiba-tiba rumahnya kedatangan seorang tamu. Setelah dipersilakan masuk, ibunda Tan Giok Tjwa Ialu bertutur, bahwa ia tidak mampu menyajikan hidangan yang pantas untuk tamu karena mereka sendiri sangat kekurangan. “Tapi, kalau berkenan, saya bisa memetik beberapa helai daun semanggi dan memasaknya,” kata ibunda Tan Giok Tjwa.

Sang tamu pun menepis, “Ah saya pun tidak terlalu lapar”. Lalu, ia pun mendekati si kecil lalu berpesan: “Anak ini akan saya akui sebagai anakku, dan kelak kalau sudah besar, ia boleh mencari aku”, ujar sang tamu. Tapi, ketika tuan rumah menanyakan di mana alamat lelaki itu, ia hanya menjawab singkat. “Nanti kalau sampai waktunya, anak ini akan mengetahui sendiri”, jawab tamu, kemudian ia bergegas meninggalkan si kecil bersama ibunya.

Nah, dengan pertemuan yang tidak terduga di padepokan Mbah Jugo itu. akhirnya Tan Giok Tjwa terus menetap di situ, dan kemudian berganti nama menjadi Ki Djan. Sayang, kisah selanjutnya tentang Ki Djan dan Eyang Djoego ini tidak ditemukan dalam kepustakaan-kepustakaan. Bersambung…

| Artikel Selanjutnya : Cerita Gunung Kawi Malang, Mbah Jugo adalah Guru Besar Yang Pertama (Habis)