Cerita Gunung Kawi Malang (Bagian Pertama)

Cerita Gunung Kawi Malang ini bermula pada suatu pagi ketika bersih-bersih rumah dan mengumpulkan buku-buku bekas untuk dikilokan. Aku tidak sengaja menemukan Majalah Jatim Tourism News edisi 25 Juli – 15 Agustus 2005 No. 50 Tahun III. Setelah kubalik-balik, kucermati dan ku baca berulang-ulang. Ternyata isinya sangat bagus dan sangat berbobot dalam Sejarah di Malang dan Jawa Timur.

Cerita Gunung Kawi Malang

ayobandung.com

Akhirnya aku mengumpulkan dan menyimpan majalah tersebut, daripada harus dikilokan dan ujung-ujungnya didaur ulang untuk sesuatu yang kurang bermanfaat seperti bungkus kacang atau bungkus gorengan. Alhasil setelah mengorek-orek info dan artikel didalamnya akhirnya aku mendaur ulang (sesuai SEO) isi artikel tersebut dengan tujuan untuk pembelajaran bagi teman-teman, saudara sebangsa dan setanah air mengenai sejarah, asseeek… Berikut artikelnya:

Lokasi Gunung Kawi dan Jarak dari Kota Malang

Menurut cerita-cerita Gunung Kawi yang beredar dimasyarakat, Gunung Kawi dikenal Sebagai tempat ziarah, ada Di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, bukan persis berada di Gunung Kawi. Gunung Kawi di Wonosari yang menjadi topik bahasan kita di sini sudah sejak lama dikenal sebagai objek wisata ritual, tidak saja oleh wisatawan dalam negeri, tapi bahkan wisatawan mancanegara. Simak catatan lama Im Yang Tjie, bahwa sejak Rabu Wage, 11 Maret hingga Rabu Wage, 15 April 1953, tercatat 4.870 tamu yang datang berkunjung ke tempat itu.

Sekilas Cerita Pesarean Gunung Kawi

Kalaupun kemudian cerita-cerita Gunung Kawi menjadi sangat populer dan bahkan Gunung Kawi menjadi salah satu ikon wisata ritual di Jawa Timur, karena di sana bersemayam untuk selamanya dua sosok manusia “pilihan” Mbah Jugo alias Kanjeng Kiai Zakaria ll, dan Raden Mas Imam Soedjono, yang konon di masa hayatnya merupakan tokoh karismatis dan pejuang yang gagah berani.

Kedua sosok pilihan yang dimakamkan di situ tidak saja melegenda di kalangan masyarakat Jawa, tapi juga bagi masyarakat Indonesia keturunan Cina. Mereka bahkan lebih mengenal Mbah Jugo sebagai Taw Low She, yang maknanya berarti Guru Besar Pertama, dan Raden Mas imam Soedjono sebagai Djie Low She, yang arti harfiahnya setara dengan Guru Besar Kedua.

Menurut sebuah sumber, Mbah Jugo atau Kanjeng Kiai Zakaria II yang sehari-harinya dikenal sebagai Mbah Kromodi redjo sebenarnya adalah bhayangkara Pangeran Diponegoro, keturunan Penguasa Mataram Kartasura yang memerintah pada Abad 18. Sedangkan Raden Mas Imam Soedjono adalah keturunan Penguasa Keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, juga pada Abad 18.

Secara topografi

Kondisi alam Desa Wonosari Iebih tepat disebut sebagai kawasan permukiman di kaki Gunung Kawi bagian selatan (lebihkurang 800 meter dari atas permukaan laut) sebenarnya tidak banyak berbeda dengan daerah-daerah tinggi lainnya di Jawa Timur. Udaranya sejuk, areal pertaniannya subur, perkampungannya damai, plus komunitas masyarakat yang ramah-tamah, dan senantiasa terikat dengan adat-istiadat yang kuat.

Kawasan wisata ritual ini menempati areal seluruhnya seluas kira-kira 15 hektar, dan 7 hektar di antaranya merupakan kawasan khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata ritual serta fasilitas umum. Penanggung jawab pengelolaan adalah Yayasan Ngesti Gondo, yang seluruh anggotanya merupakan ahli waris dan kaum kerabat Mbah Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono.

Secara administratif

Kompleks makam Mbah Jugo dan Raden Mas Imam Soedjono atau yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Pesarean Gunung Kawi. Terletak di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Sekitar 40 kilometer arah barat Kota Malang. Jalan menuju kesana relatif baik, dan dapat ditempuh dengan hampir semua angkutan umum sekitar satu jam perjalanan.

Kisah yang menarik untuk dicermati

ilustrasi

Mbah Jugo alias Kanjeng Kiai Zakaria ll, alias Raden Mas Soerjokoesoemo, alias Raden Mas Kromodiredjo. Sudah cukup lama menghadap Yang Maha Kuasa. Beliau meninggal di padepokannya di Desa Jugo, Kecamatan Sanan, Kabupaten Blitar. Pada hari Minggu Legi (malam Senin Pahing) pukul 01.30, tanggal 1 bulan Selo (Zulhijah, red) tahun 1799 Dal. Atau lebih tepat lagi, tanggal 22 Januari 1871.

Jenazah almarhum kemudian diberangkatkan ke Desa Wonosari di kaki Gunung Kawi, dan baru tiba pada hari Rabu Wage, 24 Januari. Setelah disemayamkan semalam di padepokan Raden Mas Imam Soedjono. Esoknya Kamis Kliwon, 25 Januari 1871. Jasad almarhum dikebumikan dengan cara muslim, yang dipimpin langsung oleh kerabatnya Raden Mas Imam Soedjono. Sayang, tidak ditemukan keterangan pada usia berapa almarhum menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan terkuburnya Jasad almarhum. Maka seiring dengan itu pula terkubur pula sebagian besar kisah perjalanan hidup Mbah Jugo dan sosok beliau yang sesungguhnya. Kalaupun belakangan ini banyak muncul berbagai cerita Gunung Kawi yang mengatasnamakan nama Beliau. Baik yang lisan maupun tertulis, itu tak lebih dari potongan-potongan kisah yang tercecer. Atau barang kali legenda yang kurang didukung oleh data yang valid.

Bersambung…

| Artikel berikutnya :
Cerita Gunung Kawi, Mbah Jugo Seorang Pemuka Agama Keturunan Darah Biru (Bagian Kedua)
Cerita Gunung Kawi, Karomah Mbah Jugo Membuat Beliau di Cintai Masyarakat (Bagian Ketiga)