Artikel Sebelumnya :
Cerita Gunung Kawi Malang (Bagian Pertama)
Cerita Gunung Kawi Malang, Keturunan Darah Biru (Bagian Kedua)
Cerita Gunung Kawi Malang, Karomah Mbah Jugo (Bagian Ketiga)
Cerita Masyarakat Keturunan Cina
Pada tahun 1931, beberapa orang Tionghoa dari Surabaya, naik ke makam Mbah Jugo di Gunung Kawi dengan kepentingan yang berbeda meski ujung-ujungnya juga sama. Sebut saja, Tjia Tian Tjin. Ia mendapat musibah karena anak lelakinya bernama Tjia Hong Bwee mengalami kecelakaan. Ketika jatuh, anak itu terluka, dan bagian yang terluka itu tak pernah kunjung sembuh meski sudah dibawa berobat ke dokter, sinshe, maupun dukun. Anak itu menderita selama 7 tahun dan tidak ada tanda-tanda kesembuhan.
Karena merasa sudah berupaya maksimal untuk kesembuhan anaknya dan ternyata tidak membawa hasil apa-apa, pada akhirnya Tjia Tian Tjin mengambil sikap untuk naik ke kaki Gunung Kawi guna mencari penyembuhan alternatif terhadap penderitaan anak lelaki kesayangannya. Dan hasilnya sungguh di luar dugaan. Hanya dengan sebotol air putih yang ia bawa dari kaki Gunung Kawi, Tjia Hong Bwee lang sung sembuh dan sehat sebagaimana sediakala. Karena keberhasilan itu, Tjia Tian Tjin kemudian berjanji bahwa pada suatu saat kelak, ia akan naik lagi ke kaki Gunung Kawi untuk mengabdi kepada Mahaguru.
Kwee Yan Ho
Seorang lagi bernama Kwee Yan Ho. Ia menderita sesak nafas yang akut dan sudah menahun. Kondisinya sudah amat lemah. Ia juga sudah berobat sana-sini, tapi tak kunjung sembuh juga. Sehingga pada gilirannya ia mengambil keputusan, akan naik ke kaki Gunung Kawi. Uniknya, masih di tengah perjalanan, penyakitnya tiba-tiba menghiIang. Ia merasakan kondisinya benar-benar prima dan beIum pernah ia rasakan sebelumnya.
Meski demikian, ia tetap melanjutkan perjalanan hingga ke makam Mbah Jugo. Di sana ia hanya mengambil sebotol air dan kemudian dibawa pulang. Siapa tahu kalau penyakitnya kumat Iagi. Namun. hingga bertahun-tahun kemudian, penyakit bengeknya benar-benar sudah tidak pernah muncul lagi. Maka, ia pun berjanji sama dengan rekannya, Tjia Tian Tjin, untuk sekali waktu akan kembali lagi ke kaki Gunung Kawi.
Tjan Tpe Siang
Lain halnya dengan kisah Tjan Tpe Siang. la seorang penganut kebatinan dan vegetarian yang ketat. Suatu ketika, disaat ia tengah bersemedi, tiba-tiba ia menerima semacam firasat, bahwa ia harus ke kaki Gunung Kawi. Maka dalam hitungan beberapa hari saja ia sudah berada di seputar makam Mbah Jugo.
Sesampainya di sana, entah mengapa ia benar-benar merasakan suatu kenikmatan batin yang luar biasa. Sampai-sampai ia memutuskan untuk tidak mau lagi kembali ke Surabaya. Namun, karena terpanggil oleh rasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga, ia akhirnya kembali juga ke Surabaya. Hanya saja, setelah beberapa tahun kemudian, ia naik lagi ke kaki Gunung Kawi untuk mengabdikan diri kepada Guru Besar dalam bentuk partisipasi membangun sarana dan prasarana di sana ‘bersama-sama dengan Tjia Tuan Tjin, Kwee Yan Ho, dan Tan Kiam.
Cerita Lain dari Pengusaha
Berawal Dari Mimpi Tan Kiam
Kalau Tjia Tian Tjin, Tjan Tjoe Siang dan Kwee Yan Ho mendatangi kaki Gunung Kawi dari Surabaya, maka lain lagi dengan Tan Kiam. Kisah Tan Kiam ini nyaris sama dengan Tan Giok Tjwa, yang kebetulan dari tanah kelahiran yang sama. Bedanya, Tan Kiam justru bermula dari mimpi, sedang Tan Giok Tjwa ditemui secara langsung.
Syahdan, Tan Kiam waktu itu baru berusia 20 tahun. Suatu malam ia bermimpi kedatangan seorang pendeta yang memakai jubah hitam bersulam benang emas, tapi kakinya tidak menginjak tanah. Dalam mimpi itu, sang pendeta berkata bahwa kelak, kalau Tan Kiam sudah berusia 40 tahun, supaya datang menemui pendeta itu. Setelah menyampaikan pesan itu, si pendeta lantas menghilang ke arah selatan.
Bagi pemuda Tan Kiam, mimpi itu hanya dianggap “kembang tidur” semata. Toh, dalam alam pikirannya, setiap orang boleh bermimpi apa saja sehingga dalam kurun waktu tertentu mimpi itu benar-benar sudah ia lupakan. Namun, entah pada usia yang ke berapa, pemuda Tan Kiam akhirnya terdampar juga ke tanah Jawa. Ia pernah tinggal dan berdagang di Surabaya, pernah buka toko di Lawang, dan terakhir tinggal di Alkemar (sekarang daerah sekitar Purwosari, red).
Kegagalan Tan Kiam
Uniknya, pada usia yang ke-40, Tan Kiam merasa gagal dalam hidupnya. Semua usaha dan kerja kerasnya selama ini seakan-akan tidak menghasilkan apa-apa. Hidupnya susah dan pikirannya tidak pernah tenang. Dalam keadaan yang tidak menentu seperti itu, baru ia ingat kembali mimpinya 20 tahun yang silam. Entah firasat apa yang muncul, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk mendatangi kaki Gunung Kawi, dengan harapan barangkali di sana ia bisa menemukan sesuatu yang bisa mengubah nasibnya. Setelah beberapa lama berada dikaki Gunung Kawi, ia merasa tenang. Alam pikirannya yang sebelumnya kusut, mulai berubah menjadi keceriaan. Sehingga ia kemudian memutuskan untuk menetap di Desa Wonosari.
Usaha Tan Kiam
Di Desa Wonosari Tan Kiam sambil membuka usaha perkebunan teh di atas sebidang tanah yang luas nya sekitar 5 hektar. Letaknya kuranglebih 700 meter sebelah selatan makam Mbah Jugo.
Selain berkebun teh, ia juga menjual hasil perkebunannya itu ke Surabaya dan kota-kota lainnya di Jawa Timur, jadi ia menjadi petani sekaligus pedagang teh. Sambil menjalankan usahanya itu, Tan Kiam pula yang memprakarsai beberapa pembangunan sarana dan prasarana di seputar makam Mbah Jugo, termasuk membangun sebuah kupel (tempat peribadatan bagi agama Budha,red) berbentuk segi delapan Yang ia beri nama Pat Kwa Teng.
Sekarang ini, Pat Kwa Teng sudah dirobohkan karena sudah dimakan usia, dan diganti bangunan baru yang diberi nama The Kiong. Kendati demikian, dalam pembangunan itu, Tan Kiam tidak sendirian. Selain dibantu masyarakat sekitar, ia juga dibantu beberapa rekannya dari Surabaya seperti, Tjia Tran Tjin, Kwee Yan Bo, Kho Soen Khong, yang sebelumnya sudah berjanji untuk sekali waktu akan datang lagi kaki Gunung Kawi guna mendharmabhaktikan diri pada Sang Resi, Maha Guru Yang Pertama.
Dharmabhakti Tan Kiam
Kecuali Tan Kiam, seorang warga keturunan yang lain, Ong Hok Liong, seorang pengusaha dari Malang, membangun sebuah kupel lainnya yang berdampingan dengan Pat Kwa Teng untuk permainan ciamsi dan papwe. Hingga sekarang permainan adu nasib ini masih ada. dan tergolong paling ramai didatangi pengunjung yang ingin meramalkan nasibnya. Berharap lewat ciamsi nasibnya akan mendapatkan hoki (keuntungan).
Sayang, Tan Kiam ini tidak pernah beristeri, sehingga ia tidak memiliki keturunan. Ia hanya mengambil anak angkat bernama Poimah, wanita asal Tumpang yang kemudian diperisteri oleh Maduri. Tan Kiam meninggal dunia pada usia 74 tahun, pada 15 Januari 1965, dimakamkan kurang-lebih 2 km dari makam Mbah Jugo.
Rumah peninggalan almarhum Tan Kiam hingga kini masih terawat baik. Sekarang dijadikan tempat tinggal Darmaji, salah seorang keturunan dan ahli waris Poimah. Sedangkan makam Tan Kiam, juga cukup terawat dan selalu terkunci. Hanya dibuka pada saat-saat tertentu bila ada pengunjung yang akan berziarah ke sana. Tan Kiam, hanya salah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia keturunan Cina yang begitu mengagumi Mbah Jugo. Dan, tampaknya, di masa mendatang juga akan tetap begitu. [Suhandi M.]
Sekian, Terimakasih Telah Mampir dan Membaca
Hello gess, panggil saja saya mimin atau yuant, lahir di Malang, pernah bekerja di Jakarta, Mojokerto dan penempatan di Kaltim, Kalsel Kalteng, Jambi, Sultra dan Sulteng. Karena sering jalan-jalan gratis inilah web ini terlahir. I create some Article and content creator for different perception. So, check it out.