Terjebak Keruwetan Ibu Kota Jakarta

Sajak-sajak yang ku tulis ketika di Kota Jakarta:

Pagimu Negri

Pagi hari ku mandi
Merapikan kepala dan hati
Sarapan nasi dan roti
Minum beras kencur bukan rapet sari
Dan kulihat langit mulai gelap
Padahal hari masih senyap
Ku hirup udara pengap
Padahal pohon masih tegap

Semalam ku bermimpi
Pulang ke rumah dengan jiwa yang berseri
Aku pun terbangun dan menepi
Ternyata aku masih di Jakarta sendiri
Berlari kesana kemari
Memikirkan macet dan bising setiap hari
Padahal hanya Tujuh hari
Disini, belajar mengembangkan pribadi

Aku benar-benar merindukan kedamaian
Setelah sekian jam dikemacetan
Menembus klakson-klakson diperjalanan
Ditengah gedung tinggi dan asap bergelantungan

Terlihat di langit penuh kilat
Dari pagi buta sampai sore gelap
Dari terjaga hingga terlelap
Dari waktu shubuh hingga akhir Sholat

Ku hanya terdiam dan termenung
Diantara orang-orang terlihat bingung
Menghela nafas dan murung
Melihat dia bercincin tak memakai kalung

Mentari semakin tinggi
Tapi dia tak nampak menyinari
Tertutup awan abadi
Dan sepertinya tak kan beranjak pergi
Aku pun tertunduk lagi
Melanjutkan mimpi-mimpi
Menyusuri ibu kota yang sepi
Sepi dari ketenangan sejati

Mungkin ku harus bersabar
Ditengah deru mesin yang bar-bar
Hangat seperti kue nastar
Beringas dan menggelegar
Dan aku harus keluar
Meninggalkan ibu kota yang sudah besar
Kembali kepada pemilik kebun mawar
Menjalani hidup tenang
Bukan untuk mencari uang
Dan bukan untuk berebut barang
Bukan pula untuk hidup bergelimang
Aku hanya merindukan kekasih-kekasih Tuhan
Hidup untuk kemanusiaan
Hidup untuk kejujuran
Hidup untuk keadilan
Hidup untuk kebaikan
Dan hidup berke-Tuhanan

Jkt 270220

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *